Renungan 10 Hari Terakhir Puasa Kita

Renungan 10 Hari Terakhir Puasa Kita

Ramadan sudah melewati paruh kedua, bahkan memasuki fase yang amat sakral, 10 hari terakhir bulan puasa. Namun sebelum kita sampai pada yang fitri, ada baiknya kita melihat dan merenungkan kembali apa yang telah kita jalani selama 20 hari.
Refleksi pendek ini mungkin bisa kita ibaratkan dengan evaluasi terhadap ibadah yang kita lakukan, amaliah yang kita kerjakan. Paling sederrhana kita bisa melihat pada cara bagaimana kita berbuka puasa.
Pada bulan puasa kita disarankan untuk makan minimal 2x sehari (Buka dan Sahur). Saat makan sahur kita dianjurkan untuk makan agar dapat menjalani puasa di siang hari. Baiknya juga dengan mengkonsumsi karbohidrat dan lainnya untuk penambah stamina.
Setelah menjalani puasa selama sehari (siang) penuh barulah berbuka pada waktu Adzan Maghrib. Pada saat berbuka puasa kita tetap dianjurkan untuk tidak berlebihan. Kita juga dianjurkan untuk mengkonsumsi yang manis dan disunahkan diawali dengan buah kurma. 
Namun, terkadang banyak dari kita (saya salah satunya) khilaf saat berpuasa. Para penjual takjil di pinggir jalan sering menggoda sembari di jalan pulang. Apa yang kita inginkan seperti sudah tersedia, mulai dari es campur, kolak, es kepal milo, indomie donat, martabak. Namun kita sering khilaf membelinya bahkan lebih dari kadar dari yang seharusnya.
Baca juga: Kelahiran Kedua


Memaknai Puasa

Jika cara puasa kita seperti itu, perlu kita bertanya ulang benarkah kita berpuasa? Ataukah hanya sekedar pindah jadwal makan?. Bila melihat cara berpuasa yang seperti itu, makan nasi masih ditambah es kepal plus camilan donat indomie, kolak dan macam lainnya, saya merasa itu sebuah masalah. Itu lebih dari menunda jadwal makan saja. Jadi apanya yang salah? Menurut saya permasalahannya terletak pada pemahaman kita terhadap Puasa itu sendiri.
Sepertinya sampai saat ini kita masih memaknai puasa sebagai “menahan tidak makan dan tidak minum dan semua yang membatalkan dari terbit fajar hingga terbenam mata hari”. Ini pemahaman umum yang kita tahu tentang puasa, namun saya ingin menekankan pada kata “menahan” sebagai sebuah kata kunci memahami puasa ini.
Menahan berarti mencegah dengan sekuat tenaga. Menahan juga memiliki konsekuensi logis, saat sesuatu yang ditahan itu telah dibuka dan dilepas akan cenderung diluar kendali. Setelah sehari penuh menahan lapar, setelah berbuka puasa, nafsu lapar itu menjadi tak terkendali. Semua ingin dibeli dan semua yang ingin dimakan yang ditahan saat berpuasa seperti menjadi dendam yang harus dituntaskan.
Namun akan berbeda menurut saya jika kita sedikit merubah cara pikir kita dalam memahami puasa dengan arti “mengolah” bukan “menahan”. Menanamkan sugesti dalam pikiran kita bahwa berpuasa adalah “mengolah” nafsu, Baik nafsu makan, nafsu seksual, dapat memberikan dampak yang berbeda. Karena mengolah berarti kita lebih diberi kekuatan untuk dapat mengontrol, menjaga dan menggunakannya pada saat dan waktu yang tepat. Karena tentu akan tidak enak bila kita berbuka puasa dan makan sahur tapi kita tidak nafsu makan. Bukankah begitu?
Pengertian tersebut sebenarnya lebih dekat terhadap pengetian yang diinginkan dari puasa itu sendiri. Karena sebenarnya kita harus mengembalikan puasa pada pengertian asalnya.
Puasa sebagai padanan kata untuk menerjemahkan kata bahasa arab shaum, dalam bahasa melayu-indonesia memiliki arti yang lebih dari sekedar menahan perut dan di bawah perut saja.
Puasa, sebagaimana yang sering kita gunakan, berasal dari bahasa Sansekerta “Upavasa”. Kata upavasa berasal dari kata benda “vas” yang berarti tinggal dengan awalan “Upa” yang memiliki arti bersama/dekat. Sehingga Upavasa itu memiliki arit hidup bersama atau hidup dekat. Kemudian muncullah pertanyaan, hidup dengan siapa? Dekat siapa?
Seorang Maha Guru atau Biksu mengatakan bahwa Upavasa adalah hidup dalam kehadiran yang terus menerus dan mendekatkan diri kepada tuhan dengan doa dan amalan baik.
Baca juga: Valentine dan Makna Bagi yang Jomblo


Tiga Tingkat Puasa menurut Imam Ghazali

Kemudian, bagaimana puasa kita bisa sampai pada pengertian Upavasa yang sebenarnya?. Saya ingin menggunakan pembagian tingkatan puasa yang pakai oleh Imam Ghazali sebagai jalan menuju pengertian puasa yang asal.
Pertama, Puasa Awam atau bisa kita artikan dengan puasa yang dipahami pada umumnya. Puasa umum dilekatkan pada puasa yang hanya mencegah dari yang membatalkan puasa, baik makanan dan seksual. Puasa Awam ini hanya menyentuh unsur lahiriah saja dan menyampingkanhal diluar jasmaniyah sebagai hal yang tidak berhubungan dengan puasa.
Kedua, Puasa Khusus. Puasa khusus tidak hanya mencegah dari yang membatalkan puasa semata seperti pada Puasa Awam. Tapi juga berusaha mencegah pandangan dari maksiat, lidah dari berkata kotor dan mencaci orang lain, tangan dan jempol dari share berita bohong dan kaki dari perbuatan dosa.
Pada tingkat Puasa Khusus, puasa kita naik tingkat dari yang hanya sekedar “yang penting tidak batal” ke “tidak mengurangi pahala puasa”
Dan ketiga, Puasa Khusus al-Khusus. Puasa tingkatan ini biasanya dijalani oleh seorang sufi. Para sufi yang berpuasa akan merasa berdosa apabila hari-harinya lupa kepada Allah dan terisi dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dan yang membatalkan puasa pada tingkat Khusus Al-Khusus lebih bersifat ruhaniah. Seorang sufi menganggap bahwa memikirkan sesuatu yang membatalkan puasa itu berdosa. Jarang dan sulit seseorang untuk sampai pada tingkatan ini, tapi bukan tidak bisa.
Baca juga: Hegel dan Sejarah yang Terus Saja Begitu
Puasa Awam lebih hanya sekedar menunda jadwal makan saja tanpa memperhatikan hal yang berkaitan dengan hal yang ruhaniah seperti pahala. Sedangkan Puasa Khusus dan Khusus al-Khusus lebih dekat pada perngertian Puasa sebagai Upavasa. Karena sebenarnya puasa lebih dari sekedar menahan nafsu perut dan di bawah perut.
Kemudian dari pada itu sampailah kita pada pertanyaan akhir. Sudah sampai tingkat manakah puasa kita? Mari kita renungkan masing-masing. Saya juga tidak mengklaim bahwa saya sudah pada tingkat Khusus apalagi tingkat Khusus al-Khusus. Karena saya sadar masih sering tidak tahan melihat godaan-godaan takjil yang segar. Namun setidaknya kita masih tetap bersama berjalan menuju pada puasa dengan arti yang sebenarnya.

Tulisan ini telah dimuat di Alif.id tanggal 5 Juni 2018

Tags :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar