Hegel dan Sejarah yang Terus Saja Begitu

Hegel dan Sejarah yang Terus Saja Begitu

Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Membaca Hegel saya merasa seperti bayi yang belum punya gigi. Seperti makan permen yang harus saya emut (tahan dalam mulut) perlahan sampai habis tanpa bisa dikunyah. Begitupun dalam mencerna segala macam konsep, pemikiran, pandangan yang dikemukakan Hegel tentu bukanlah pekerjaan yang mudah, namun berusaha adalah cara yang mungkin dilakukan.
Pada tulisan ini saya berusaha keras untuk tidak banyak menggunakan istilah dan konsep-konsep yang digunakan oleh Hegel. Karena menurut saya, di samping saya tidak begitu mengerti dengan baik istilah tersebut, saya lebih enak menggunakan bahasa yang saya pahami untuk menjelaskan Hegel. Saya menggunakan kata dan istilah yang sederhana sebagai sorang pemula dalam mencoba mengerti Hegel. Untuk itu saya ingin mulai membaca Hegel dengan memahami dari asumsi dasar (dugaan yang diterima sebagai dasar) yang digunakan dengan harapan akan lebih mudah–sebenarnya sulit juga–untuk mengerti terkait filsafat sejarah yang dimaksud Hegel.
Salah satu asumsi Hegel yaitu “Sejarah adalah proses yang rasional.” Salah satu pernyataan yang terkenal dari Hegel adalah “Alles vernunftige ist wirklich und alles wirkuch ist vernunftig.” Artinya semua yang masuk akal/rasional adalah nyata dan semua yang nyata adalah rasional. Saya sendiri harus berhati-hati untuk memahami pernyataan tersebut, jika salah maksud justru membuat saya sendiri jadi tambah bingung.
Sebuah kejadian sejarah bagi Hegel tidak terjadi secara kebetulan. Setiap kejadian pastilah memiliki alasan yang masuk akal mengapa hal itu bisa terjadi. Tidak ada peristiwa yang berdiri sendiri dan terlepas dari kenyataan lain disekitarnya. Sebuah peristiwa tidak munkin muncul secara tiba-tiba tanpa ada penyebab atau pemicu yang mengiringinya.
Saya memahami asumsi tersebut bahwa kejadian sejarah manusia sebagai sebuah kenyataan pasti berhubungan dengan kejadian lain sebelumnya. Sebuah kenyataan pasti memiliki hubungan dengan kenyataan lain, entah itu sebagai sebab terjadinya suatu peristiwa atau hanya sebagai pemicu saja. Peristiwa sejarah sebagai sebuah kenyataan memiliki hubungan dengan peristiwa lain yang terjadi. Secara sederhana, setiap kejadian pastilah memiliki alasan. Seperti kita memilih untuk berangkat ngaji, misalnya, pastilah bukan sebuah pilihan yang kebetulan. Pilihan kita untuk berangkat ngaji tentu memiliki alasan, memiliki keterkaitan dengan peristiwa lain yang kita alami. Peristiwa itu masuk dalam diri kita, dalam pikiran kita, kemudian menjadi pertimbangan pada apa yang kita lakukan setelahnya.

Keterkaitan antar kenyataan dalam sebuah peristiwa bagi Hegel dapat diamati dan dimengerti dengan pemahaman bahwa “Alam bergerak diatur oleh suatu hukum dan pola tertentu yang dipahami secara dialektik.” Pola dialektik menurut Hegel terjadi ketika konsep yang kita gunakan dalam membaca atau memahami realitas adalah konsep yang tidak lengkap dan hanya berupa bagian yang terpisah dari yang lainnya. Sehingga ditemukan bentuk kontradiksi (antitesis)kekurangan, bagian kosong dari konsep tersebut. Dengan mengamati kontradiksi yang muncul, maka terjadi ketegangan antar tesis dan antitesis: melakukan kompromi dan saling melengkapi untuk sampai pada titik yang lebih sempurna. Dan konsep baru yang dilahirkan dari penggabungan keduanya itulah yang dalam bahasa Hegel disebut dengan sintesis. Sintesis adalah bentuk yang menggabungkan sisi terbaik dari tesis dan antitesis, sehingga ia dikatakan dengan bentuk yang lebih sempurna.
Untuk mengerti pada bagian ini saya ingin memberikan analogi yang saya dapat dari seorang teman saat kita nongkrong di warung kopi. Analogi yang ia gunakan cukup membuat saya mengerti pola dialektik yang digunakan Hegel. Seperti ini, seorang laki-laki jomblo ingin sekali punya anak untuk melanjutkan garis keturunannya. Maka tentu jika ia terus menjomblo dan tidak menikah bisa dipastikan ia tidak akan punya anak. Oleh karena itu kehadiran seorang perempuan akan menjadi penyempurna dalam kehidupannya. Hingga kemudian mereka menikah dan lahirlah seorang anak yang mereka idamkan. Ibaratkan laki-laki dan perempuan sebagai tesis dan antitesis dan anak mereka sebagai sebuah sisntesis, yang mewarisi sisi dari keduanya. Hingga kemudian ketika anak tersebut menginjak usia dewasa, ia akan membutuhkan antitesis baru dan kemudian lahirlah sisntesis dan begitu seterusnya. Tentu saja ini hanya sebuah analogi sederhana karena dalam dunia Hegel, pola dialektik itu terjadi dalam tataran konsep dan alam ide atau roh dalam bahasa Hegel.
Pola dialektis seperti yang dikemukakan Hegel adalah sebuah konsep pemahaman akan gerak sejarah. Pola dialektis bagi Hegel memunkinkan berjalannya sejarah manusia hingga saat ini. Kontradiksi yang muncul merupakan bagian dari proses sejarah yang akan terus menggerakkan kehidupan manusia. Perdebatan antara paham kanan dan paham kiri, konservatif dan modern, adalah sebuah pola yang terus terjadi dan menjadi pengggerak berjalannya sejarah. Ketegangan yang muncul antara keduanya adalah proses yang terus terjadi untuk mencari bentuk yang lebih baik, bentuk yang menggabungkan keduanya.
Pada tahap ini saya sedikit memahami bahwa sejarah manusia bergerak, berjalan mengikuti pola dialektis. Tesis memunculkan antitesis dan kemudian lahirlah sistesis, kemudian sintesis–sebagai konsep yang baru–adalah sebuah tesis yang kemudian memunculkan antitesis dan lahirlah sistesis baru. Begitulah sejarah manusia terbentuk, dan dapat dimengerti dengan pola dialektik. Begitulah sedikit yang saya mengerti dari Hegel.
Setelah sedikit mengerti apa yang dimaksu Hegel dengan sejarah, saya masih dibingungkan dengan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menyelinap dalam pikiran saya. Jika sejarah terus bergerak berdasarkan sebuah pola, akankah sebuah kenyataan ini terus berlangsung tanpa sebuah akhir? Apa sejarah ini tidak punya tujuan? Sampai kapan sejarah akan terus berjalan? Begitu saja pikiran saya berjalan. Dalam pikiran saya hanya bisa menduga, mungkin ini yang dimaksud Hegel dengan Roh Mutlak. Saat realitas telah mencapai pada titik tertinggi dan tidak ada lagi yang dipertentangkan, titik di mana sebuah konsep tentang realitas sampai pada titik kesempurnaan. Jika proses sejarah adalah perjalanan realitas menyadari dirinya, maka perjalanan manusia sampai pada tujuannya saat mereka tidak ada lagi yang saling dipertentangkan tidak ada yang saling diperdebatkan. Paham kiri dan paham kanan menemukan bentuk idealnya. Konservatif dan modern bertemu dalam konsep terbaik yang melingkupi semuanya. dan sejarah sampai pada perjalanan akhirnya. Mungkin begitu dari apa yang dimaksud Hegel dengan Roh Mutlak, menurut saya.
Membaca Hegel tentu tidak akan selesai dalam tulisan ini. Masih banyak dan masih panjang perjalanan kalau kita mau mengupas Hegel. Tapi sayangnya saya baru mampu sampai di sini. Pada akhir tulisan ini saya mengutip dari Hegel “Only one man ever understood me, and he didn’t understood me.” Begitulah kiranya, saya hanya berusaha untuk mengerti Hegel, karena sebenarnya tidak ada yang mengerti Hegel. Hegel emang emboh lah. 😃
Tulisan ini dimuat di laman www.mjscolombo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar