AL-AZHAR - Review
Judul : Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keilmuan
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Penerbit Kompas
Tahun Terbit : 2010
Tebal Buku : xii + 353 halaman
Saya menyimpan kenangan pada masa saya tinggal di Mesir, saat belajar di Al-Azhar. Kenangan yang saya banggakan dan tak akan saya lupakan sebagaimana saya tak bisa melupakan jasa Mesir. Maka saya tinggal di Mesir itu antara tahun 1964 sampai tahun 1966. Masa-masa itu adalah saat yang paling penting dalam hidup saya, sebab saat itu merupakan pembentukan keperibadian. Saya lahir tahun 1940 dan saat di Mesit itu saya in prime of life. beginilah buku ini dimulai dengan kutipan dari guru bangsa indonesia K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menceritakan Al-Azhar berarti kita dibawa kembali menyusuri sungai Nil kuno, melihat kemegahan Giza para Firaun. dari Giza kita akan terus berjalan keselatan hingga memasuki daerah delta sungai Nil. di sana kita akan bertemu dengan Alexander, ya sebuah kota yang dibangun oleh Alexander Agung di pesisir utara Afrika ini dan sekarang dikenal dengan sebutan kota Alexandria. Kota yang dikelilingi tembok besar sebagai benteng perttahanan Yunani Alexandria bukan hanya sebuah kota, tapi ia lebih dikenal dengan perpustakaan Ptolemies Alexandria, tempat ribuan buku-buku Ilmu pengetahuan mengendap dan memencar ke penjuru. Tapi sayangnya perpustakaan ini hancur terbakar sejak zaman Julius Caesar 48 SM.
Menceritakan Al-Azhar berarti juga menceritakan Islam. Islam yang masuk kemesir lantaran kenakalan seorang panglima perang bernama Amr bin Ash. Amr sengaja tidak membuka surat yang dikirimkan Khalifah Umar karena ia sudah memprediksi bahwa surat itu berisi pembatalan ekspedisi. berkat kenakalan itu Islam tersebar di dataran Mesir dan tidak hanya itu, terus menyebar ke barat hingga ke Maroko dan Andalusia.
Menceritakan Al-Azhar mengajak kita memasuki dunia Dinasti Fatimiyah. Masa ketika Al-Azhar masih berupa taman bunga dari masjid Fatimiyah, masih berupa sekumpulan orang yang sedang berdiskusi disamping taman membicarakan tentang ilmu dan semacamnya. Al-Azhar bermula dari diskusi ringan menjadi sebuah pusat keilmuan berupa Universitas bahkan menjadi pusat pengkajian keislaman di dunia Islam. Masjid kembali pada fungsi awal sebagai pusat kegiatan umat dan tidak hanya dalam bentuk ritual ibadah, bahan lebih dekat dengan umat dengan hadirnya kelas belajar, perpustakaan dan juga lembaga paengabdian.
Buku ini dihadirkan dengan bahasa yang sederhana dan tidak membaut para pembaca pusing untuk menangkap isinya. Buku merupakan catatan perjalanan hidup penulis ketika tinggal di Mesir untuk belajar. gaya bahasa komunikatif yang dugunakan seakan membawa pembaca menyusuri mesir dan Al-Azhar tak ubahnya seorang Guide memandu para turis berjalan dan menjelaskan berbagai cerita dibalik sebuah nama Al-Azhar, Mesir. Perjalanan Intelektual penulis dijelaskan dalam bab I "dari al-Amien ke Al-Azhar" sebbuah perjalanan meraih cita-cita dari pondok pesantren Al-Amien parenduen Sumenep menuju Al-Azhar negeri seribu menara.
Umm Dunya, begitulah penulis dalam bab tiga dan emat menyebut nama Mesir sebagai ungkapan kemegahan dan ke agungan mesir sejak zaman Firaun, Alexander hingga memasuki dunia Islam dan lahirnya Al-Azhar. Penjelasan ini penulis letakkan pada Bab II. Kelahiran Al-Azhar dan menjelmanya mesir menjadi kota Ilmu dan Pusat kajian Keislaman tak akan pernah lepas dengan sejarah Dinasti Fatimiyah. Hingga sekarang, Dinasti Fatimiyah masih bisa dilihat dari peninggalan bangunan sejarahnya dan telah diakui PBB. Jasa besar Fatimiyah mendirikan Masjid Al-Azhar merupakan awal dari berdirinya Al-Azhar modern.
Beralih dari awal berdirinya Al-Azhar, penulis mulai mengajak kita ke zaman modern. ditandai dengan masuknya Napoleon dan semua semua peralatan yang Ia bawa termasuk mesin cetak. Napoleon tidak hanya "merampas" tapi ia juga memberikan jalan baru bagi mesir untuk lebih siap menyambut zaman modern. para ulama mesir pun mulai belajar bahasa Perancis dan tidak sedikit yang mulai belajar ke Eropa, seperti Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Para Grant Syekh Al-Azhar masih menunjukkan sikapnya menerima pemikiran dari luar sehingga tak jarang Mesir dijuluki sebagai Pioneer Islam Moderat.
Sebagai Akhir, semoga buku ini bisa menjadi tambahan di rak buku para pembaca dan tentunya tidak hanya sebagai pajangan. Al-Azhar adalah taman bunga mawar. di negeri seribu menara, Mesir.
Yogyakarta, 15.00.08.06.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar